Ceritakan, Sebelum Kesepian Merenggut Nyawamu

Things Left Behind: Ceritakan, Sebelum Kesepian Merenggut Nyawamu

Kira-kira, apa yang membuat seseorang memilih untuk menyembunyikan hal yang penting bagi dirinya? Apakah dia berpikir itu tidak penting bagi sekitarnya? Apa dia takut menyulitkan orang lain? Atau, stereotip yang ada di masyarakat terlalu kejam dan membuatnya ciut?

Sejatinya, pemikiran-pemikiran itu hanya membuat seseorang merasa kesepian, berat dalam menjalani hidup, dan akhirnya memutuskan untuk merenggut nyawanya sendiri.

Untuk membahas hal ini lebih dalam, kita bahas cuplikan-cuplikan kejadian di buku Things Left Behind, yuk!

thingsBaca di Sini!

“Sekarang dunia enak. Tinggal pesan saja kalau ada yang dibutuhkan. Makanan juga bisa diantar. Jangan khawatirkan ayah.”

Dengan nada ceria, seorang ayah menyampaikan kabar kepada anaknya, yang berjarak empat jam dari rumahnya, melalui telepon. Anak semata wayang yang sibuk dengan urusan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga tersebut hanya bisa berpikir positif. Selama ini, meski sudah berkali-kali ia mengajak ayahnya untuk tinggal bersama, ayahnya selalu menolak.

Saat kematian ayahnya, anak itu sadar bagaimana ayahnya menjalani kehidupan. Sang ayah kesulitan berjalan dan tidak ada orang yang memperhatikan asupan makanannya. Ia hanya memesan ramyeon dan minuman keras dari toko terdekat. Alhasil, kesehatannya semakin memburuk.

Kaki ayahnya yang jarang digerakkan semakin lemas hingga akhirnya ia tak sanggup pergi ke kamar mandi. Rumahnya penuh dengan botol-botol berisi air seni. Ego yang tinggi membuat sang ayah enggan meminta tolong ketika klosetnya rusak. Kamar mandinya pun penuh dengan tinja yang mengering.

Beberapa orang tua yang mengidap penyakit kronis, terkadang memilih untuk tidak memberitahukannya pada keluarga maupun orang terdekat mereka. Pada akhirnya, mereka meninggal dalam kesepian.

“Mengapa para ayah mau bertanggung jawab sendiri atas segalanya? Sebetulnya, boleh juga berbagi sedikit beban kepada anaknya. Anak yang tidak bisa berbagi beban dan tidak bisa menemani ajal orang tuanya akan merasa sangat bersalah.”

Lain lagi akhir hidup seorang wanita cantik, santun, dicintai keluarga, dan juga berkecukupan secara finansial.


Baca juga: Things Left Behind, Buku Self Improvement yang Mengilhami Drakor Move to Heaven


“Kakak saya tidak bisa dihubungi. Sudah setahun. Lalu polisi menghubungi saya. Katanya kakak saya sudah meninggal,” ujar seorang wanita cantik, adik mendiang.

Wanita itu memang cantik, tetapi kakaknya jauh lebih cantik sampai tidak bisa dibandingkan.

Apa yang kurang dari hidup sang kakak sampai ia memilih untuk mengakhiri hidupnya? Kabur dari keluarga yang amat mencintainya selama setahun sampai membuat ibunya sakit, keluar dari pekerjaan bergengsi, dan menghilang dari jangkauan.

Saat rumahnya dibersihkan, barulah terungkap bahwa selama ini sang kakak bekerja sebagai paranormal. Ia pergi menjauh demi keluarganya. Tapi ia merasa kesepian dan takut. Ia merasa berat dan rindu kasih sayang ibunya. Ketika ia tahu ibunya sakit keras karena dirinya, mungkin ia menyalahkan dirinya dan berpikir sudah tidak bisa kembali seperti dulu.

Padahal, jika ia jujur, bisa saja ibu dan keluarganya memeluknya erat dan mendukung keputusannya.

Itulah penggalan kisah di buku “Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada” yang ditulis oleh Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won, pengurus barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal.

Suatu ketika, Kim Sae Byoul dan timnya bertugas untuk membersihkan sebuah kamar kecil. Tidak ada banyak barang, hanya ada meja belajar dan tempat tidur untuk satu orang.

Kim Sae Byeoul, Penulis Buku Things Left Behind (Sumber: Youtube.com)

Di laci meja tersebut ditemukan berbagai macam cat kuku. Buku-bukunya pun tentang nail art dan soal-soal untuk ujian sertifikasi nail art. Ada banyak kuku buatan yang dilukis cantik dengan cat berwarna-warni. Melihat pakaian yang ada, sepertinya kamar itu milik laki-laki. Atau punya perempuan?

Saat itulah ia sadar bahwa ia telah berprasangka. Jenis kelamin tidak seharusnya menjadi batasan untuk melakukan pekerjaan yang disukai. Di meja belajar almarhum tertulis, “Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.” Catatan itu justru menunjukkan seberapa berat hidup yang dijalaninya.

Ia berusaha keras memperjuangkan mimpi meski penghasilannya tidak seberapa. Namun prasangka orang lain membuatnya semakin terpuruk dan merasa kesepian. Hingga kemudian ia memilih untuk menyerah atas segalanya.

“Gara-gara pikiran yang penuh prasangka dan picik, seseorang terluka dan kehilangan keberanian, bahkan bisa putus asa sampai mengakhiri hidupnya. Pikiran yang menghasilkan perkataan dan perilaku bisa melukai atau menyelamatkan seseorang”

Selama melakukan pekerjaannya sebagai pengurus barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal, entah berapa kali Kim Sae Byoul dan timnya menerima pandangan mencemooh dari sekitarnya. Mereka tidak diperbolehkan memarkir mobil perusahaan, tidak boleh makan di restoran, sampai terkadang harus memakai baju biasa ketika bekerja karena pemilik gedung takut tidak ada lagi yang mau menyewa kamar itu kalau tahu ada yang meninggal di sana.

Kantor juga harus pindah beberapa kali karena permintaan penduduk sekitar. Kantor yang sekarang pun tidak memasang papan nama. Jika harus pindah lagi, mungkin mereka harus bersembunyi di pelosok negeri.

“Aku tidak boleh menyesuaikan diriku pada standar dunia, tetapi aku harus mengubah dunia sesuai standarku. Akulah yang memegang kendali atas hidupku. Apa masalahnya jika aku berjalan dengan perlahan ke arah yang berbeda dengan dunia? Justru aku bisa menikmati keseruan karena menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain.” Begitulah Kim Sae Byoul meyakini dirinya agar kuat menghalau segala prasangka dan bisa membantu banyak orang.

Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada, buku yang menceritakan tentang keseharian Kim Sae Byoul sebagai pengurus barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal, tidak hanya berisi tentang kisah akhir hidup seseorang, tetapi juga sarat hikmah tentang kehidupan.

Di dalamnya ada banyak pelajaran untuk menghargai tiap detik yang kita miliki, tidak menyalahkan masa lalu, dan senantiasa menjalin hubungan yang hangat baik dengan keluarga maupun orang sekitar.

Kini, buku Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada, sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Grameds bisa mendapatkan buku ini di Gramedia.com!

Gramedia.com menawarkan promo-promo menarik setiap harinya untuk kamu yang ingin berbelanja buku dan produk-produk non-buku lainnya. Hari ini adalah hari terakhir kamu dapat berbelanja dengan promo Best Deal: Angkut!, untuk mendapatkan diskon hingga 25% untuk buku-buku terbitan Gramedia. Klik banner di bawah ini untuk mendapatkan promonya, ya!

thingsBelanja Sekarang!


Sumber gambar header: freepik.com

Penulis: Juliani Tri Puspitaningrum

Menyusuri Kesepian dalam Keheningan Rindu

Bertemu di Temaram: Menyusuri Kesepian dalam Keheningan Rindu

Halo, Grameds! Siapa di sini yang suka baca puisi? Atau… jangan-jangan masih ada Grameds yang kurang suka baca puisi? Bagi sebagian orang, bahasa yang digunakan dalam puisi cenderung asing dan sulit. Namun, justru di situ serunya! Dengan kalian menjelajahi setiap kata yang tertulis di puisi, itu akan mengembangkan kemampuan kreativitas dan keterampilan bahasa lhoo, Grameds.

Oh iya, puisi juga merupakan salah satu bentuk karya sastra tertua yang abadi hingga saat ini. Bahkan di era modern ini, puisi tetap merupakan karya sastra yang relevan bagi pembaca. Puisi juga dapat menjadi wadah Grameds dalam mengungkapkan emosi.

Jika kamu merasa terpuruk di dunia yang serba cepat, salah satu cara yang bisa kamu coba untuk menjadi lebih mindful adalah membaca atau menulis puisi. Puisi bisa menjadi media dalam menenangkan diri, lho. Coba sendiri deh kalau nggak percaya!

Salah satu penulis populer yang puisinya digemari oleh banyak pembaca adalah Boy Candra. Pasti kamu sudah tidak asing lagi dengan namanya, bukan? Boy Candra saat ini baru saja merilis buku terbarunya yang berjudul Bertemu di Temaram. Hmm… Kira-kira bukunya ini tentang apa, ya, Grameds? Kita simak ulasannya berikut ini, yuk!

bukuBaca Sekarang!

sedang badai dalam diriku.
hujan deras tiada henti-henti
di beranda rumah di tengah jantungku.
aku menjaga jarak untuk menarikmu.

sudah kukirim tanda, tetapi kau
tak tangkap makna-makna itu.
sudah kubiarkan sungai dalam diri,
tempat kau pulang berenang tiap kali
lelah datang padamu yang gamang.

Grameds, kita bahas judulnya terlebih dahulu yuk!

Temaram; kata ini merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada kondisi pencahayaan yang tidak terlalu terang, tetapi lebih ke arah pencahayaan yang lembut dan redup. Ini adalah suasana yang seringkali digunakan untuk menciptakan perasaan ketenangan dan romantisme. Selanjutnya, kita bahas isinya, yuk!

Buku ini berisikan gambaran perasaan yang mendalam tentang cinta yang sulit tergapai. Kamu pernah merasakan perasaan itu nggak, Grameds? Jika iya, maka buku ini cocok dijadikan temanmu dalam kesunyian cinta dan rindu yang kamu pendam untuk orang tersebut.

Puisi dalam buku ini menuangkan emosional yang rumit dalam cinta. Penggambaran tentang perasaan merindu, mendamba, dan berbagai nuansa lainnya dalam cinta diungkapkan dalam buku ini sangat menyentuh hati.

Gairah cinta tak tergapai itu berhasil diinterpretasikan dalam beragam cara. Meskipun terasa mirip, setiap bab puisi memiliki perasaan yang berbeda dan unik saat dibaca. Grameds akan dibawa ke perasaan kekosongan, kesendirian, dan bahkan kesunyian.

Buku ini mengemas perasaan gelisah dalam cinta yang tak terucap atau terpisah melalui bait-bait puisi yang seolah berbisik di telinga.

Puisi-puisi dalam buku Bertemu di Temaram tidak sulit untuk dipahami, sehingga bisa dengan mudah kamu hayati. Masing-masing puisi ditulis dengan cara yang sederhana dan tidak berlebihan, sehingga bisa dinikmati oleh berbagai kelompok usia, baik remaja, dewasa, maupun orang tua.

Buku ini juga menghadirkan ilustrasi untuk menambah kedalaman makna dalam setiap puisi. Ilustrasi tersebut bukan hanya artistik, tetapi juga memiliki daya tarik yang mampu menggetarkan perasaan.

Secara keseluruhan, Bertemu di Temaram adalah buku yang bisa dinikmati ketika kita merasa perlu merenung dalam bait-bait puisi yang membawa perasaan mendalam seperti hasrat, rindu, dan kesepian.

Gimana, Grameds? Makin penasaran bukan dengan isi keseluruhan buku ini?
Spesial untuk Grameds yang ingin memiliki buku Bertemu di Temaram ada diskon 20% di Gramedia.com, lho! Yuk, langsung saja klik banner di bawah ini untuk mendapatkan diskonnya!🛒⤵️

bukuBaca Sekarang!


Sumber gambar header: Instagram @rizki_reads

Penulis: Naela Marcelina

Editor: Puteri C. Anasta